banner 728x250

Potret Kecamatan Routa, Dulu Dikucilkan Kini Dirindukan, Bupati Konawe : Surganya Para Investor

banner 120x600
banner 468x60

UNAAHA, SULTRAHEADLINE.COM – Beberapa bulan terakhir ini, salah satu daerah terjauh di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra) yakni Kecamatan Routa kembali ramai diperbincangkan, pasalnya daerah yang dulu dikucilkan bakal segera berdiri mega industri yang digadang-gadang akan mampu menyerap kurang lebih 16 ribu tenaga kerja.

Bila berkaca pada tahun-tahun sebelumnya, Kecamatan Routa merupakan daerah terjauh yang ada di Kabupaten Konawe, karena untuk menjangkau tempat tersebut membutuhkan waktu berjam-jam. Jarak Routa dengan pusat pemerintahan di Kota Unaaha sekitar 300 kilo meter, untuk menjangkau daerah tersebut ada dua jalur alternatif yang pertama harus melintasi Kabupaten Konawe Utara (Konut) dengan memakan waktu kurang lebih 10 jam lamanya. Namun medan yang harus dilalui cukup menantang sehingga dibutuhkan tenaga ekstra untuk melaluinya.

banner 325x300

Sementara jalur alternatif yang kedua harus melintasi Kabupaten Kolaka Utara selanjutnya menyebrangi danau towuti yang berada di Sulawesi Selatan dengan menggunakan perahu. Kebanyakan orang yang hendak ke Routa lebih memilih melewati jalur tersebut, karena jalannya beraspal meskipun harus memakan waktu satu hari.

Tapi meski demikian, Routa merupakan salah satu pilar Kabupaten Konawe, karena di daerah tersebut menyimpan sejumlah kekayaan alam seperti hasil pertambangan dan pertanian, hal ini menjadi salah satu alasan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Konawe enggan melepas daerah yang dikenal dengan tanah merah itu.

Bahkan, bagi para Aparatur Sipil Negara (ASN) bertugas di Kecamatan Routa merupakan hal yang paling menakutkan. Karena letak geografis perkampungan, infrastruktur jalan dan jembatan, listrik dan jaringan telekomunikasi belum memadai. Sehingga banyak ASN yang menolak mengabdikan diri di kampung terisolir ini.

Routa ibarat lembah yang disulap menjadi perkampungan, dimana di sebelah kiri dan kanan diapit oleh pegunungan, bukit Utara berbatasan langsung Sulawesi Selatan (Sulsel), sudut Barat berbatasan Sulawesi Tengah (Sulteng), di balik pegunungan bagian Barat, Kecamatan Latoma (Konawe), sebelah Timur Konawe Utara (Konut).

Informasinya, Routa sejak puluhan tahun silam telah dihuni oleh orang pedalaman yang mayoritasnya suku Tolaki yang menyelamatkan diri pada zaman penjajahan. Namun saat ini, daerah tersebut sudah mulai dihuni dari berbagai suku diantaranya Makassar, Tolaki, Bugis, Toraja, Jawa, Luwu dan berbagai suku lainnya. Meski masyarakatnya heterogen, namun hubungan sosial masyarakatnya sangat adaftatif. Penyesuaian terhadap lingkungan sehingga mereka saling menguasai budaya dan bahasa, warga yang bermukim di Routa saling mengenal satu sama lain meskipun berbeda suku.

Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019, luas wilayah Kecamatan Routa yakni 218.858 hektar atau 37,74 persen dari luas daratan Kabupaten Konawe. Secara administratif Kecamatan Routa terdiri dari enam Desa dan satu Kelurahan yakni Desa Walandawe, Tirawonua, Parudongka, Tanggola, Puuwiwirano, Lalomerui dan Kelurahan Routa. Jumlah penduduk Kecamatan Routa pada tahun 2018 sebanyak 2.211 jiwa.

Untuk fasilitas pendidikan di Routa terdapat 9 bangunan sekolah diantara 6 bangunan Sekolah Dasar (SD), 2 Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan 1 Sekolah Menengah Atas (SMA). Sementara fasilitas Kesehatan sebanyak 5 bangunan, 1 Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), 2 Puskes Pembantu (Pustu), 1 Pondok Bersalin Desa (Polindes) dan 1 Pos Kesehatan Desa (Poskedes).

Potensi perkebunan di Routa sangat besar, sub sektor pertanian yang paling diandalkan tanaman komoditas lada dan kakao. Tetapi hasil produksi pertanian sulit dipasarkan karena kendala akses mobilisasi yang belum memadai. Lahan perkebunan lada yang diusahakan masyarakat dan sudah mulai produksi seluas 500 hektar. Dan ini belum termasuk 200 hektare yang masih dalam masa pemeliharaan.

Bahkan setiap kali masa panen hasil pertanian di bidang usaha perkebunan lada sebesar Rp 2 miliar. Bisa dibilang pendapatan para petani yang memiliki kebun lada 2000 pohon saja bisa memetik hasil Rp 120 juta, dengan pendapatan perbulan Rp 10 juta. Namun sayangnya, besarnya hasil produksi pertanian di Kecamatan Routa justru berputar di daerah tetangga seperti Sulawesi tengah (Sulteng) dan Sulawesi Selatan (Sulsel).

Kendala para petani bukan saja soal pemasaran, tetapi juga pemeliharaan tanaman tersebut. Pupuk yang paling dibutuhkan, tetapi sulit diperoleh. Para petani harus bekerjasama dahulu oleh para tengkulak. Sistemnya para pemodal ini menditribusi sesuai permintaan petani. Pada saat panen harga pupuk barulah dibayar dengan memotong dari hasil produksinya nanti. Ini cukup memberatkan masyarakat karena sekitar 3/4 hasil pertanian itu hanya untuk pupuk. Mekanisme pasar ini sekaligus mengikat para petani untuk tidak menjual kepada tengkulak lain.

Jadi bisa dikatakan, secara administratif Kecamatan Routa berada di daratan Konawe, namun warganya justru mencari makan di Sulsel dan berobat di Sulteng. Karena selama ini, jika ada warga yang sakit namun tidak mampu ditangani tenaga medis yang ada di Puskesmas Routa, maka pasien tersebut akan dirujuk di Rumah Sakit yang beradi di Luwu, Sulteng.

Keadaan seperti ini sudah sering kali diutarakan warga setempat, namun tak kunjung ada perhatian dari pemerintah setempat. Anca (38) salah satu warga setempat, mengatakan Kecamatan Routa memiliki banyak Sumber Daya Alam (SDA) memadai bahkan sangat diminati para investor dari manapun, seperti pertambagan, pertanian, serta potensi-potensi lain yang dimiliki wilayah tersebut. Namun selama ini Pemkab Konawe hanya datang dan menggeruk untuk mendapatkan keuntungan.

“Bahkan akses jalan saja itu dikerjakan masyarakat secara swadaya tanpa ada bantuan sedikitpun dari pemerintah, seharusnya jalan kami sudah bagus karena hasil dari perut bumi Routa itu sendiri sudah banyak memasukan PAD untuk Konawe, namun nyatanya masyarakat sendiri yang berinisiatif untuk membuat jalan, agar wilayah kami bisa di akses melalui jalur darat,” ujar pria kelahiran Kecamatan Wawotobi itu.

Selain itu, warga juga sangat membutuhkan jembatan untuk menyeberangi sungai di wilayah mereka. Impian warga terhadap fasilitas tersebut sudah lama. Namun, hingga saat ini belum terwujud. Keluhan ini sudah sering kali mereka utaran kepada Pemkab Konawe saat Musrembang, serta Kepada DPRD Konawe saat melakukan reses di daerah mereka.

Warga lainnya, Ahmad (39) mengaku selama ini warga yang mayorotas petani sering kesulitan saat menyebrangi Sungai Wataraki saat hendak ke Ibu Kota Routa untuk berbelanja kebutuhan, karena jembatan yang selama ini menghubungkan Kecamatan dengan Desa-Desa lainnya hanya bisa dilalui oleh kendaraan roda dua. Sementara untuk kendaraan Roda empat harus bersusah payah menyebrangi sungai tersebut.

Jika dalam kondisi musim hujan, sungai tersebut tidak bisa dilewati karena arusnya semakin deras dan debit air pun ikut naik. Sehingga mobil hanya bisa diparkir di pinggir sungai, lalu berjalan kaki menuju Kecamatan Routa yang jaraknya puluhan kilo meter.

“Kita sering kewalaham jika harus melewati sungai Wataraki yang penuh dengan bebatuan. Dimana lagi kita harus mencari jalur yang bagus untuk bisa sampai di seberang sungai. Jika pengandaranya tidak bisa mencari jalan terbaik, maka mobil-mobil yang dikendarai akan kemasukan air didalamnya, terlebih lagi bisaterbawa arus,” keluhnya

Petani Lada itu berharap, harapan terbesar warga di daerahnya adalah adanya perhatian pemerintah terhadap kebutuhan warga. Keluhan tidak adanya fasilitas tersebut sudah sangat lama. Namun, hingga saat ini belum ada respon positif dari pemerintah. Tapi dengan adanya rencana pembangunan mega industri di Routa, dirinya berharap kepada para investor yang nantinya berinvestasi bisa melirik keadaan Routa dan secepatnya membangun fasilitas- fasilitas penunjang seperti jembatan, mengingat kebutuhan warga sangat tinggi.

“Ini merupakan angin segar buat kami, karena jika benar-benar terealisasi tentunya akan mensejahterakan warga di Routa. Apalagi akan mampu menyerap ribuan tenaga kerja, tapi mudah-mudahan saja perekrutannya nanti tidak seperti yang terjadi di mega industri di Morosi, karena harus membayar dulu Rp.3 juta baru bisa kerja jadi karyawan,” tuturnya.

Rencana pembangunan pabrik pemurnian nickel dan pabrik baterai litihium di Routa akan segera terwujud. Pasalnya, tinggal menunggu keputusan pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Kehutanan untuk penurunan status hutan ke Areal Penggunaan Lain (APL). Luas lahan yang akan dikelola oleh PT. Indonesia Konawe Industrial Park (IKIP) selaku penanggung jawab seluas kurang lebih sekitar 3.500 hektar.

PT IKIP telah menanamkan modalnya sebesar 5 miliar US dolar atau sekitar Rp 70 triliun, dalam operasinya nanti PT IKIP akan bekerjasama dengan PT IMIP untuk pengolahan bahan baku, rencana pengiriman material dari Routa ke PT IMIP Morowali menggunakan sistem konveyor. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan dibangun rel kereta khusus pengangkutan tambang untuk memuat material dari Routa ke Morowali dengan jarak kurang lebih 40 km.

Bupati Konawe, Kery Saiful Konggoasa menuturkan, Routa merupakan kecamatan paling barat Konawe yang potensial menjadi pusat pertambangan atau investasi. SDA khususnya tanah di wilayah itu dikaruniai kandungan nikel yang melimpah. Selain itu, lithium yang juga turunan nikel, potensial untuk digarap di daerah itu. Dimana lithium merupakan bahan baku baterai penggerak mobil listrik yang mulai dikembangkan di beberapa negara di Eropa.

Meski demikian, pembangunan proyek mega industri di Routa masih mengalami beberapa kendala, salah satunya akses jalan menuju kawasan industri tambang tersebut. Pasalnya, jalur yang akan dilintasi nantinya sangat sukar untuk dilalui utamanya kendaraan- kendaraan besar. Selain itu, jalur tersebut juga berstatus jalan Provinsi.

“Kita akan mengupayakan agar industri di Routa bisa berdiri sendiri dan bisa menjadi kawasan inti industri dan dapat berdiri sendiri. Dan yang lebih terpenting lagi kita akan jadikan daerah ini menjadi surganya para investor, karena selain pertambangan kota juga akan kembangkan potensi-potensi yang menjanjikan agar banyak investor asing maupun lokal yang bersedia menanamkan sahamnya,” terang Kery.

Kehadiran Mega industri Kecamatan Routa, tentunya akan memberikan beberapa dampak bagi perekonomian masyarakat. Sehingga keberadaan industri tersebut sangat menguntungkan baik dari sisi pertumbuhan ekonomi maupun serapan tenaga kerja yang berdampak baik terhadap mengurangi tingkat pengangguran di Sultra.

“Tentunya dengan kehadiran mega industri yang baru ini, akan memberi dampak ekonomi yang signifikan bagi warga yang berada di sekitar kawasan tersebut. Usaha-usaha kecil-menengah diseputaran pabrik akan menjamur, warung makan hingga kos-kosan milik warga sekitar pastinya akan banyak. Karena memang kita proyeksikan agar kehadiran mega industri bisa memberikan dampak positif untuk warga Routa, Konawe hingga Sultra,” harap Wakil Bupati Konawe, Gusli Topan Sabara.

Penulis: Dedy/SH

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.